Pages

Sabtu, 31 Desember 2011

Tradisi "Dandangan" Menyambut Ramadhan


Perayaan tradisi "Dandangan" merupakan sebuah tradisi di kota Kudus yang diadakan menjelang kedatangan bulan suci Ramadan. Dandangan merupakan pasar malam yang diadakan di sekitar Menara Kudus, sepanjang jalan Sunan Kudus, dan meluas ke lokasi-lokasi disekitarnya. Pada tradisi dandangan ini diperdagangkan beraneka ragam kebutuhan rumah tangga mulai dari peralatan rumah tangga, pakaian, sepatu, sandal, hiasan keramik sampai degan mainan anak-anak serta makan dan minuman.

Tradisi ini sudah ada sejak 450 tahu yang lalu atau tepatnya zaman Sunan Kudus (Syeh Jakfar Shodiq, salah satu tokoh penyebar agama Islam di Jawa). Pada saat itu, setiap menjelang bulan puasa, ratusan santri Sunan Kudus berkumpul di Masjid Menara menunggu pengumuman dari Sang Guru tentang awal puasa. Para santri tidak hanya berasal dari Kota Kudus, tetapi juga dari daerah sekitarnya seperti Kendal, Semarang, Demak, Pati, Jepara, Rembang, bahkan sampai Tuban, Jawa Timur. Karena banyaknya orang berkumpul, tradisi dandangan kemudian tidak sekadar mendengarkan informasi resmi dari Masjid Menara, tetapi juga dimanfaatkan para pedagang untuk berjualan di lokasi itu.
Para pedagang itu tidak hanya berasal dari Kudus, tetapi juga dari berbagai daerah sekitar Kudus, bahkan dari Jawa Barat dan Jawa Timur. Mereka biasanya berjualan mulai dua minggu sebelum puasa hingga malam hari menjelang puasa.
Selain di Kudus tradisi menyambut bulan suci Ramadhan juga diadakan didaerah dareah lain, diantaranya : Semarang, Jawa Tengah ada tradisi "Dugderan". Dugderan berasal dari kata dug dan der. Dug adalah suara dari bedug masjid yang ditabuh bertalu-talu sebagai tanda dimulainya puasa, der adalah suara dentuman meriam yang dulu ditembakkan secara salvo setelah bedug ditabuh. Dugderan dimulai tahun 1881 Masehi ketika Semarang diperintah oleh Kanjeng Bupati Raden Mas Tumenggung Adipati (RMTA) Purbaningrat. Pemukul bedug kala itu adalah sang adipati Semarang itu, kini dilakukan oleh Wali Kota Semarang.
Ada yang khas dalam dugderan, yaitu ada maskot binatang Warak. Sosok ini menyerupai kuda, naga dan ular. Badan berbentuk kuda, berleher ular, berkepala naga atau singa, berkulit sisik ular. Sosok warak memang hanya ada di Semarang. Dan dugderan tanpa warak,bukan dugderan lagi namanya. Konon, warak memiliki makna yang dalam. Warak berasal dari bahasa Arab wira’I yang berarti santun, penuh ketaatan, tidak sombong. Ada pula yang mengatakan warak berasal dari bahasa Jawa warah yang berarti petuah baik. Dua kata itu bermakna baik semua. Pesan Ramadhan adalah agar selalu berbuat baik, tidak sombong, serta berlaku santun. Pada hari yang sama, di Kabupaten Klaten, Boyolali, Salatiga, bahkan Yogyakarta, banyak umat Islam yang menyambut datangnya Ramadhan dengan cara mandi di sumber-sumber air dan kolam pemandian dalam acara ”padusan”. Makna dari padusan adalah membersihkan diri lahir dan batin untuk menyambut datangnya puasa.
Di Kabupaten Klaten, Boyolali, Salatiga, bahkan Yogyakarta, banyak umat Islam yang menyambut datangnya Ramadhan dengan cara mandi di sumber-sumber air dan kolam pemandian dalam acara ”padusan”. Makna dari padusan adalah membersihkan diri lahir dan batin untuk menyambut datangnya puasa.
Di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) ada Tradisi "Meugang".  Meugang adalah tradisi rakyat Aceh menyambut Ramadhan dengan menyembelih lembu atau kerbau. Tradisi meugang sudah ada sejak Sultan Aceh, sekitar tahun 1.400 Masehi. Tradisi makan daging menjelang puasa, Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Haji sudah mendarah daging di seluruh Aceh. Bahkan jika tidak ada uang, warga atau instansi tertentu bergotong royong mengumpulkan uang (meuripee) untuk membeli seekor kerbau. Tentu saja, ini lebih murah daripada membeli di pasar daging.  Lazimnya, janda miskin, panti asuhan, orang miskin, para dermawan, memberikan sumbangan. Intinya, selama dua hari meugang, dapur menyebarkan aroma daging. Berarti semiskin-miskin orang Aceh, paling kurang setahun tiga kali makan daging pada hari Meugang.
Di Surabaya, menjelang Ramadan ada tradisi yang disebut megengan. Konon, tradisi ini dimulai dari kawasan Ampel, di sekitar Masjid Ampel, Surabaya. Megengan ditandai dengan makan apem, semacam serabi tebal berdiameter sekitar 15 senti, dibuat dari tepung beras. Apemnya nyaris tawar, seperti kue mangkok yang dipakai warga keturunan Tionghoa untuk sembahyangan menjelang Imlek.
Diduga nama apem atau apam berasal dari kata afwan dalam bahasa Arab yang berarti maaf. Tradisi makan apem ini untuk memaknai permintaan maaf kepada sesama saudara, kerabat, dan teman. Sebetulnya, yang terjadi bukanlah sekadar tradisi makan apem, melainkan melaksanakan selamatan atau tahlilan dengan hidangan apem dan pisang raja untuk mendoakan arwah saudara dan kerabat yang telah meninggal, sekaligus minta maaf. Setelah tahlilan, apem dan pisang dibagikan kepada semua keluarga dan tetangga.
Di kalangan kaum jamaah (keturunan Arab) di lingkungan Ampel, Surabaya, apemnya dibuat dari tepung terigu, lebih besar dan tebal, rasanya pun lebih manis - disebut pukis. Ada lagi apem bentuk lain yang lebih khas Arab dan disebut camer. Camer biasanya dibuat dengan tape atau peuyeum, mungkin sekali sebagai pengganti ragi - karena di dalam tape masih ada ragi yang hidup.

0 komentar:

Posting Komentar