PENDAHULUAN
Kebudayaan pada perkembangannya di era globalisasi ini seolah dikalahkan oleh adanya kemajuan tekhnologi yang dapat menghadirkan berbagai macam corak kesenian dan setidaknya hal itulah yang dirasakan masyarakat di masa sekarang ini. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa hal tersebut didukung pula oleh arus globalisasi ,yang seharusnya di imbangi dengan berkembangnya kebudayaan kesenian asli sehingga dapat berjalan seiring dan ikut pula mewarnai masuknya kebudayaan – kebudayaan asing yang bertumbuh cukup subur di negeri kita, sejalan dengan Repelita di bidang kebudayaan.
Walaupun teknologi di era globalisasi ini merupakan faktor dominan dalam kultur kehidupan manusia masa kini dan juga merupakan ketergantungan yang hebat , namun sebaliknya kita harus dapat mewarnai era globalisasi ini dengan di kembangkannya kebudayaan negeri sendiri.
Kebudayaan dan gaya hidup Indis merupakan suatu fenomena historis, yaitu sebagai bukti hasil kreativitas kelompok atau golongan masyarakat pada masa kekuasaan Hindia Belanda, baik dalam menghadapi tantangan hidup tradisional Jawa maupun gaya Belanda di negeri Belanda. Tepat kiranya pendapat Adolph S. Tomars dalam tulisannya yang berjudul Class System and the Arts yang menjelaskan bahwa hadirnya golongan masyarakat tertentu pasti akan melahirkan pula seni dan budaya tertentu. Dengan menerapkan konsep Tomars ini, penulis memiliki landasan sosiologis yang kuat bahwa golongan masyarakat Indis telah melahirkan pula kebudayaan Indis.
TINJAUAN PUSTAKA (TEORI)
Teori Kebudayaan
Teori kebudayaan dapat digunakan untuk keperluan praktis, memperlancar pembangunan masyarakat, di satu sisi pengetahuan teoritis tentang kebudayaan dapat mengembangkan sikap bijaksana dalam menghadapi serta menilai kebudayaan-kebudayaan yang lain dan pola perilaku yang bersumber pada kebudayaan sendiri.Menurut Wilhelm dilthey dan Heinrich Rickert mereka membagi ilmu pengetahuan ke dalam dua bagian, yaitu Naturwissenschaften (ilmu pengetahuan alam) dimana dalam proses penelitiannya berupaya untuk menemukan hukum-hukum alam sebagai sumber dari fenomena alam. Hal lain adalah Geisteswissenschaften (ilmu pengetahuan batin)atau oleh Rickert disebut dengan Kulturwissenschaften (ilmu pengetahuan budaya) dimana dalam tipe pengetahuan ini lebih menekankan pada upaya mencari tahu apa yang ada dalam diri manusia baik sebagai mahluk sosial maupun mahuk individu.
Berbicara tentang kebudayaan maka tidak bisa terlepas dari peradaban. Berikut ini beberapa dimensi dari peradaban, diantaranya, pertama, Adanya kehidupan kota yang berada pada tingkat perkembangan lebih „tinggi dibandingkan dengan keadaan perkembangan didaerah pedesaan. Kedua, Adanya pengendalian oleh masyarakat dari dorongan-dorongan elementer manusia dibandingkan dengan keadaan tidak terkendalinya atau pelampiasan dari dorongan-dorongan itu. Dalam memahami kebudayaan kita tidak bisa terlepas dari prinsip-prinsip dasarnya. de Saussure merumuskan setidaknya ada tiga prinsip dasar yang penting dalammemahami kebudayaan, yaitu:
A. Tanda (dalam bahasa) terdiri atas yang menandai (signifiant, signifier, penanda) dan yang ditandai (signifié, signified, petanda).
B. Gagasan penting yang berhubungan dengan tanda menurut Saussure adalah tidak adanya acuan ke realitas obyektif. Tanda tidak mempunyai nomenclature. menentukan bagaimana unsur-unsur realitas obyektif diberikan signifikasi ataukebermaknaan sesuai dengan konsep yang terekam.
C. Permasalahan yang selalu kembali dalam mengkaji masyarakat dan kebudayaan adalah hubungan antara individu dan masyarakat. Untuk bahasa, menurut Saussure ada langue dan parole (bahasa dan tuturan).
Sebenarnya konteks teori kebudayaan dapat berubah ubah sesuai konteks zaman yang dialami sekarang ini.Mungkin ada beberapa tokoh yang mengemukakan tentang kebudayaan, antara lain :
A. Prof.Koentjaraningrat, menurut dia kebudayaan adalah keseluruhan dari system gagasan,system manusia,milik bersama,proses dalam belajar.
B. Havilland, menurut dia kebudayaan adalah aturan atau norma,pedoman berprilaku,milik bersama,dan proses dalam belajar.
PEMBAHASAN
BAB I
Awal Kehadiran Orang Belanda
Pada abad ke-16, orang Belanda datang ke Indonesia hanya untuk berdagang, tetapi kemudian menjadi penguasa di Indonesia. Pada awal kehadirannya, mereka mendirikan gudang-gudang (pakhuizen) untuk menimbun barang dagangan yang berupa rempah-rempah. Gudang-gudang itu berlokasi di Banten, Jepara, dan Jayakarta. Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), yang memiliki modal besar untuk mendirikan gudang penyimpan barang dagangan dan kantor dagang, kemudian memperkuatnya sebagai benteng pertahanan sekaligus sebagai tempat tinggal.
Sebelum kekuasaan VOC runtuh, pembangunan kota Batavia dilaksanakan dengan meniru kota-kota di negeri Belanda, dan diperkuat dengan perbentengan. Jan Pieterzoon Coen, yang hadir di Batavia pada 1619, mendirikan kota Batavia yang diawali dengan membangun gudang penyimpan barang dagangan (pakhuis), yang kemudian diperkuat dengan perbentengan. Gubernur Jenderal Valckenier (1737-1741) adalah pejabat tertinggi terakhir yang tinggal di dalam benteng. Para pejabat tinggi VOC membangun rumah-rumah peristirahatan dan taman yang luas, yang lazim disebut landhuis. Tujuh unsur universal budaya yang merupakan campuran unsure budaya Belanda dan budaya Pribumi inilah yang disebut kebudayaan Indis.
Politik liberal yang diberlakukan oleh pemerintah colonial pada 1870, ditambah dengan berkembangnya banyak perusahaan swasta di bidang perkebunan, pelayaran, perbankan, dan perkeretaapian, memerlukan banyak tenaga terampil. Pada saat itulah berkembang percampuran gaya hidup Belanda dan Jawa yang di sebut gaya hidup Indis.
Kata “Indis” dalam tulisan ini berasal dari bahasa Belanda “Nederlandsch Indie” atau Hindia Belanda, yaitu nama daerah jajahan Belanda di seberang lautan yang secara geografis meliputi jajahan di kepulauan yang di sebut Nederlandsch Oost Indie.
Kebudayaan dan gaya hidup Indis merupakan satu fenomena historis karena menghasilkan karya budaya yang ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain, faktor politik, sosial, ekonomi, dan seni-budaya dengan semua interrelasinya. Untuk itu, tulisan Clyd Cluckhohn tentang tujuh unsur budaya universal sebagai alat (sarana) memahami kebudayaan universal dapat menjadi referensi yang sangat penting untuk memahami kebudayaan Indis. Banyak tulisan atau karangan dari abad ke-18 dan abad ke-20 yang berupa monografi, kesusasteraan, kisah perjalanan, lukisan, foto, sketsa, artefak, dan seni bangunan Indis.
Dinas Kepurbakalaan dan Permuseuman belum banyak menangani peninggalan hasil karya seni-budaya gaya Indis sebagai salah satu rangkaian pembabakan zaman sejarah kebudayaan Indonesia. Padahal, pelestarian dan penelitian budaya Indis akan memperkaya budaya bangsa.
Kebudayaan Indis adalah monumen estetis hasil budaya binaan (cultural construct) dan imajinasi kolektif, serta ekspresi kreatif sekelompok masyarakat di Hindia Belanda yang menggunakan dasar budaya Belanda dan Indonesia.
Bab II
Masyarakat Pendukung Kebudayaan Indis
A. Struktur Masyarakat dan kehidupannya
Kehadiran bangsa Belanda sebagai pengusa di Pulau Jawa menyebabkan pertemuan dua kebudayaan, yaitu barat dan timur. Kebudayaan Barat (belanda) dan kebudayaan Timur (jawa) yang masing masing di dukung oleh etnis berbeda dan mempunyai struktur sosial yang berbeda pula. Lambat laun pengaruh tersebut makin besar dan mempengaruhi berbagai bidang dan unsur kebudayaan. Bangsa Belanda yang hadir di Indonesia pada akhir abad ke-6 semula bertujuan unyuk berdagang. Namun demikian, mengaman dan sektor ekonomi dan perdagannya. Tujuan mereka berubah menjadi penguasa yang berdaula. ,Lalu pertemuan kebudayaan kedua suku bangsa disusul penjajahan dengan kekuasaan yang berdaulat, yang menimbulkan perubahaan stuktur masyarakat Jawa.
Sejak abad ke-18 sampai awal abad ke-20 muncul golongan sosial baru sebagai pendukung kuat kebudayaan campuran (Belanda-Jawa) di daerah jajahan Hindia Belanda. Ada lima lima golongan masyarakat baru di desa,yaitu (a) pamongpraja bansa Belanda, (b) golongan pegawai Indonesia baru, (c) golongan pengusaha partikelir Eropa, (d) golongan akademis Indonesia (sarjana hukum, insinyur, dokter, guru, ahli pertanian dan ilmu ilmu lainnya. Sartono Kartodijo membagi masyarakat Hindia Belanda berdasarkan pendidikannya. Perkembangan pendidikan dan pengajaran baru menumbukan golongan sosial baru.
Kelompok masyarakat utama yang terhormat (mijnheer) disebut “signores”, dan keturunannya disebut “sinyo”. Oleh orang pribumi, keturunan Belanda asli disebut “grad satu” atau liplap”, sedangkan “grad dua” disebut “grobiak” dan “grad tiga” disebut “kasoedik”. Dalam penguunaan istilah di masyarakat, kata grobiak dan kasoedik lama kelamaan hilang. Golongan masyarakat tersebut,kecuali wong cilik merupakan pendukung kuat kebudayaan Indis. Selain wong cilik,para pedagang dan pengusaha keturunan Cina dan Arab banyak juga membangun rumah bergaya Indis. Masyarakat koloniual Hindia Belanda memiliki stuktur yang bersifat (semi) teodal. Prestise golongan masyarakat pribumi yang berpendidikan barat lambat laun menjadi makin kuat.
Gaya Indis sebagai suatu hasil perkembangan budaya campuran Belanda dan Pribumi jawa, menunjukkan adanya proses historis. Unsur unsur esensial yang menonjol dalam perkembangan antara lain : penderitaan bersama golongan keturunan (indo belanda / eropa), sebagai pejabat bawahan pemerintahan kolonial.Konseptualitas metodologis gaya hidup indis antara lain dapat dipahami melalui beberapa sudut pandang masyrakat pendukung gaya Indis sebagai suatu faktor yang bersifat sosio-psikologis.
1. Aspek Kognitif
Aspek kognitif berhubungan erat dengan tingkat perasaan yang sangat sulit untuk dilukiskkan dan diamati. Pada suku jawa,misalnya tidak dikenal ruang khusus bagi keluarga dengan pembedaan umur, jenis kelamin, generasi, famili, bahkan di antara anggota dan bukan anggota penghuni rumah. Maka, fungsi ruang tidak di pisahkan atau di bedakan dengan jelas.
2.Aspek Normatif
Aspek ini memilkki makana hampir sama dengan aspek orientasi nilai, tujuan, normatif dan kepercayaan. Aspek normatif menunjukan keadaan yang dianggap sebagai hal yang berharga, yang menjadi tuntutan dan tujuan untuk memperoleh hidup lebih baik di bawah kekuasaan pemerintah kolonial. Contohnya yaitu dalam hal membangun rumah tinggal yang lebih bersifat pribadi, dengan ruang-ruang yang memilki fungsi khusus.
3.Aspek afektif
Aspek afektif adalah tindakan kelompok yang menunjukan situasi. Dalam keluarga Eropa atau Belanda lazimnya terdapat seorang istri. Adanya banyak sanak saudara yang ikut keluarga inti juga mengharuskan susunan ruang-ruang rumah tidak banyak berbeda dengan rumah tradisional.
Ketiga aspek kognitif, normatif, dan afektif tersebut merupakan tindakan saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan secara konkret satu sama lain.
4.Kompisisi Sosial
Gaya hidup dan banguan rumah indis pada tingkat awal cendrung banyak bercirikan budaya Belanda. Pengaruh kebudayan Belanda lambat laun main berkurang, terutama setelah pendatang baru dari Belanda memilki semakin banyak keturunan dari penikahan dengan bangsa Jawa. Runtuhnya Hindia Belanda ke tangan bala tentara jepang dalam perang Dunia II pada 1942, disusul pada revolusi pada 1945, tidak mebuat peradaban Indis runtuh. Pada masa kekuasaan Hindia Belanda kehidupan masyarakat Indis tergolong makmur. Namun,pada masa pendudukan Jepang,kehidupan mereka jadi merana.
B.Kebudayaan Indis
Pada masa awal kehadirannya di Nusantara, peradaban belanda mendominasi kebuyaan Indonesia. Peran para cendikiawan dalam mengembangkan kebudayan Indis sangat besar dalam bidang pendidikan,teknologi, dan transportasi,khususnya setelah politik liberal dijalankan oelh pemerintahaan kolonial.Sebelum beladna hadir,masyarakat jawa sudah mengenal teknologi dengan cukup baik.Hal tersebut tampak dari arsitektur rumah mereka yang berelemen kayu,bangunan candi yang berelemn batu alam atau bata dan alat alat lainnya.Dalam arkeologi,perubhaan budaya (cultural change) dapat diamati melalui kebudayaan meterial yang di pengaruhi berbgagai hal, yaitu inovasi,terknologi,perubahan fungsi,ideologi serta keretivitas atau kebebasan. Ini adalah beberapa unsur universal budaya :
1. Bahasa, sejak akhir abad ke-18 sampai awal abad ke-20,bahasa Melayu pasar mulai berbaur dengan bahasa beland.Bahasa hasil campuran orang-orang Belanda dengan orang Jawa ini lazim disebut bahas peotjuk atau petjoek, terutama sebelum Perang Dunia II di semarang, Jawa Tengah dan sekelilingnya.Kehadairan bangsa Belanda di Indonesia yang di lanjutkan dengan percampuran darah dan budaya memunculkan sekelompok masyarakat yang berdarah campuran.
2. Kelengkapan Hidup , yang dimaksdu kelengkapan hidup yaitu, rumah tinggal, kelengkapan rumah tangga, pakaian, senjata, alat produksi, alat transportasi.
3. Mata pencarian hidup, Abad ke-18 dan ke-19 merupakan zaman keemasan penjajahan dunia (imperialisme dan kolonisme), demikian juga dengan VOC.VOC mencapai puncak kejayaannya setelah pemerintahaan Belanda memperkokoh kekuasaannya di Nusantara.Mereka mengutamakn dalam sektor perdagangan.Pemerintahan Belanda meneruskan sistem eksploitasi dan monopoli setelah mengambilalih usaha VOC.
4. Pendidikan dan pengajaran, Lazim dalam pandangan masyarakat tradisional orang yang berusia lanjut memilki pengalaman yang luas.hal itu di sebabkan oleh akumulasi pengalaman yang dilihat dan didengar. Pada keluargaa bangsawan dan priyayi Jawa, anak anak diasuh oleh para pembantu (disebut emban).Pendidikan umum adalah alat penting untuk melatih sesorang agar dapdat memegang suatu posisi jabatan dalam status di masyarakat.
5. Kesenian, Kemampuan dan kemahiran berkesenian pada suku Jawa sudah sangat tinggi sebelum bangsa Eropa hadir di Nusantara, baik dalam seni pertunjukan maupun seni rupa.Krida Beksa Wirama di yogyakarta yang didirikan oleh Pangeran Suryadiningrat dan Pengeran Tejo Kusumo pada 1916 ternyata sduah labih dulu mebuka sekolah tari dan musik gamelan.
6. Ilmu Pengetahuan dan Kemewahan Gaya Hidup :
1.Peran Penghuni dan Pemilik Pesanggrahan
2.Pembangunan Rumah Mewah dan Kemewahan Gaya Hidup Indis
3.Pembangunan Rumah Pesanggrahan
7. Religi, Enkulturasi adalah suatu proses pembentukan budaya dari dua bentuk kelompok budaya yang berbeda sampai muculnya pranata yang mantap dalam pembahasaan kajian teologi,enkulturasi diartikan sebagai rancang bangun teologi lokal.Proses rnkulturasi ditandai oleh adanya pengenalan lingkungan sosial,penyusian adat, serta terjalinnya relasi atau hubungan dalam interaksi sosial budaya.
Bab III
Gaya Hidup Masyarakat Indis
Pendekatan kultur historis sangat membantu untuk lebih memahami peradapan masyarakat indis, termaksud gaya hidupnya pembangunan rumah tinggal di benteng Batavia makin banyak karena keamanan di luar tembok benteng semakin aman dari amuk dan serangan para penguasa pribumi. Rumah-rumah mewah (landhiuzen) milik para pejabat tinggi VOC adalah tempat awal berkembangnya kebudayaan indis. Kehidupan mewah dan boros akibat keberasilan di bidang ekonomi di sebabkan oleh adanya segolongan masarakat indis di Batavia. Khususnya mengacu pada kehidupan para petinggi di weltevrendensementara, itu para pejabat bawah di kota-kota besar jawa hidup mewah jika di bandikan dengan kihidupan para raja, dan bangsawan jawa. Tanda-tanda kebesaran sebagai lambing status adalah paying sejumlah pengiring, rumah besar dan kepemilikan budak, di tiru dari kehidupan dan gaya hidup kraton para raja dan bangsawan jawa salah satu faktor yang menjadi petunjuk utama status seseorang adalah gaya hidupnya yaitu berupa catatan cara, adat istiadat, serta kebiasaan berperilaku dan mental sebagai ciri-ciri golongan sosial indis. Berikut ini di bahas gaya hidup kelompok masarakat pendukung kebudayaan indis yang terdiri atas pejabat VOC dan pejabat pemerintahan hindia belanda, serta kalangan pegawai swasta berserta anak keturunanya, gaya hidup masarakat indis dapat di ikuti dan lebih di pahami oleh berita tertulis berupa buah karya musafir, rohaniwah dan penelitian alam. Selain karya tulis, terdapat karya seniman berupa sketsa dan seni lukis yang memperkaya dan mengisi celah-celah kekurangan berita tertulis, untuk mengungkapan lebih luas tentang gaya hidup indis, berita karya tertulis buah tangan orang – orang belanda yang datang di nusantara sampai dengan runtuhnya kekuasaan hindia belanda sangaat lah berharga. Buku harian pelaut surat dan catatan perjalanan musafir. Hasil kaya sasterawan tersebut dalam bahasa belanda di sebut indische belletries. Kemudian para sasterawan menceritakan kepercayaan tentang hal-hal gaib tentang jin, setan, obat-obatan yang menimbulkan jatuh cinta dan sebagainya. Hal-hal tersebut di yakini kebenaranya oleh sebagai masarakat pendukung kebudayaan indis.
A. Rumah tangga dan rumah tinggal indis
Sejak awal kehadiran orang belanda unsure-unsur budaya dan iklim alam sekeliling sudah mempengaruhi orang-orang eropa itu dalam membangun rumah tempat tinggal mereka di jawa,dapat di ketahui tempat tinggal Batavia tidak sepenuhnya tempat seperti berebntuk tempat tinggal rumah belanda kuno di negri , pembuatan rumah Batavia kuno mendapatkan penanganan yang baik dan di kerjakan para ahli yang betul-betul handal dan pandai, pencerminan ciri-ciri yang ada, yaitu dari adanya pencampuran antara seni bangunan barat dengan lingkungan dunia timur yang sangat asing
Ada perbedaan yang sangat menyolok antara rumah- rumah yang di bangun pada masa awal pemerintahan hindia belanda yang terdapat di dalam lingkungan kastil Batavia yang berbeda di luarnya. Kelompok perumahan yang berada di luar kota Batavia di sebut pesanggrahan.
B. Kelengkapan rumah tinggal
Dari peninggalan-peninggalan catatan kuno, boedel beschrivingen, rumah tengah yang terletak di belakang ruang depan di sebut voorhius. Pada dinding ruang ini di gantungkan lukisan lukisan sebagai hiasan, di samping piring-piring hias dan jambanan porselen. Di ruang ini terdapat sebuah kerkstoel, yaitu sebuah kursi untuk kebaktian (kursi gereja ) khususnya untuk nyonya rumah pada dinding ruang tergantung perabotan lain berupa senjata atau alat perang, yaitu senapan, pedang, perasai, tombak dan sebagainya. Setiap penghuni rumah di haruskan menyediakan senjata untuk ikut menjaga keamanan. Dalam zaal di letakan peralatan rumah seperti meja makan lengkap serta almari rempah-rempah dan meja teh.
C. Kehidupan keluarga sehari – hari dalam rumah tangga
Suatu kebiasaan yang umum, di lakukan bangsa pribumi jawa pada pagi hari adalah pergi ke kali, hal demikian sangat termaksud untuk para perempuannya. Kebiasaan seperti ini hanya terlihat jamban terletak di luar rumah. Air di dapan dari sumber air di molenvliet yangt di salurkan lewat pipa, apa bila orang mandi, orang membuka kunci saluran air sehingga air dapat mengalir dan terbuang dari saluran limbah . karena itu orang harus mandi dan berbilas menggunakan air bersihdi ruang ganti baju kleedkmertje . Ada juga yang di sebut open basin yaitu tempat kamar mandi yang seluruhnya terbuka atap, di kelilingi dengan teras mengarah ke kali. Kamr mandi yang terletak di dalam rumah sudah terkenal orang pada 1870, tentu saja masih berbentuk sederhana. Pada sisi belakang ruang terdapat washuys, di situ terletak sebuah waschbalie of bad, yaitu sebuah tong besar untuk mandi dengan gayung.
D. Daur hidup dan gaya hidup mewah
Daur hidup atau life cycle adalah suatu rangkaian dalam perkembangan ke hidupan seseorang untuk kembali ke status aslinya dari satu tingkat ketingkat berikudnya . ada tiga peristiwa pentingdalam daur kehidupan manusia yaitu kelahiran , perkawinandan kematian.
Ketiga upacar itu memiliki tujuan masing-masing, upacara kelahiran di langsungkan untuk menyambut kelahiran anggota banru, dalam suatu keluarga , seluruh angota keluarga berharap si upik slalu dalam mkeadaan sehat dan selamat, upacara perkawinan di selenggarakan dengan mewah dengan harapan perkawinan yang baru di jalan ke dua mempelai berlangsung dengan penuh keselamatan
1. Upacara kelahiran
Kelahiran angota baru dalam keluarga lazim di rayakan sengan berbagai upacara.sebelum melahirkan, keluarga indis yang mampu sudah menyiapkan baju kanak – kanak , ranjang untuk si bayi, kelengkapan persalinan dan ruang tidur bagi si upik.
Pada 1815 gereja – gereja di penuhi oleh orang tua yang membawa anak bayinya unntuk di baptis tidak jelas mengapa tapada tahun tersebut begitu banyak pembatisan utuk bayi sehingga menyibukkan pendeta.apakah akibatnyabanyaknya bayi yang di lahirkan atau kesadaran beragama yang meningkat? Hal tersebut belum terjawab, banyak peraturan yang di berlakukan utuk mendapatkan pengesahan perwakilan seorang.sahnya perwakilan untuk mendapatkan pengesahan perwakilan seorang .
2. Upacara pernikahan
Pernikahan memrlukan biaya lebh besar di bandingkan dengan upacara kelahiran . sebelum akad nikah berlangsung, calon pengatin laki- laki menggantukan sebuah mah kota kecil di depan rumah atau kantornyauntuk menyertai upacara pernikahan di gereja, kedua calon mempelai memilih tema untuk menjadi seorang kroonjonker dan seorang kroonmeisje sebagai pembawa mahkota. Nenerapa minggu sebelim akad nikah , ke dua mempelai mengadakan resepsi yang di hadiri oleh teman- temannya dekatnya,pada saat ini stroojonker dan stroomeisje itu pula yang bertugas menabur bunga pasa saat hari pernikahan.
3. Upacara kematian
Upacara daur hidup yang ke 3 adalah upacara kematian. Upacara kematian di selenggarakan dengan mewah dan menelan biaya sangat besar, upacara kematian untuk pejabat voc atau pemerintahan hindia belanda memerlikan pengerahan banyaak tenaga dan pemikiran berbagai pihak.pengarahan di lakukan oleh banyak pihak, mulai darikeluarga, rohanian,pejabat sipil,militersampai serdadu dan pemikul serdadu dan pemikul zenajah atau penggalih kubur,pada masa kejayaan voc dan pemerintahan hindia belanda, upacara yang berhubungan dengan kematian seseorang pejabat tinggi, justru merupakan ajang pamer kemewahan, kebesaran.
BAB IV
LINGKUNGAN PEMUKIMAN MASYARAKAT EROPA, INDIS dan PRIBUMI
- Sumber- sumber tentang Pola Lingkungan Pemukiman
Pola pemukiman, bentuk rumah tinggal tradisional dan bangunan rumah tinggal gaya Indis tercatat dalam berbagai sumber. Sumber yang paling banyak adalah berita tertulis buah karya orang Jawa, Belanda (Eropa) serta orang asing lainnya.
1. Berita dari Karya Tulis
Berita tertulis tentang wilayah pemukiman yang kemudian berkembang menjadi kota, sudah lama dikenal sebelum abad ke-19. Dalam disertasi F.A. Soetjipto tentang kota- kota pantai di sekitar Selat Madura terdapat informasi tentang sumber- sumber berita tertulis Pribumi, antara lain berupa babad, kidung maupun serat, baik yang masih berupa manuskrip maupun yang sudah dicetak dengan jumlah cukup banyak. Karya- karya tulis ini banyak ditulis di daerah pantai (pesisir) dan pedalaman Pulau Jawa.
Manuskrip tersebut antara lain Babad Negeri Semarang, Babad Tuban, Babad Gresik, Babad Blambangan, Babad Kitho Pasoeroean, Babad Lumajang dan Babad Banten.Yang berupa cerita perjalanan antara lain adalah perjalanan R.M. Poerwolelono.
2. Karya Berupa Fotografi
Karya berupa fotografi sangat banyak tersimpan di Gedung KITLV Leiden dan berbagai museum di Belanda. Menurut Gedung Arsip Nasional Republik Indonesia di Pejaten (Jakarta), disebut oleh direkturnya, tersimpan tidak kurang dari 1.000.600 buah foto dari masa sebelum Perang Dunia II.
Baru pada abad ke-19 dikirim ara pelukis yang khusus melukis segala sesuatu yang berhubungan dengan penelitian. Misalnya, Junghuhn melukis berbagai jenis tumbuh- tumbuhan, Rumphius melukis berbagai jenis binatang darat dan laut, dan Bemenllen melukis tentang alam.
kegiatan melukis ini juga dilakukan atas dorongan Heeren Zeventien yang mengaskan para pejabat untuk memperdalam ilmu pengetahuan, seperti ilmu bangunan dan ilmu tentang batu- batu mulia. Hal seperti ini juga dilakukan oleh si seniman sebagai pekerja yang dikontrak. Kegiatan pasar di Banten dilukis oleh awak kapal yang mengikuti peralanan pertama ke Nusantara. Di dalam buku Van den Berg, Geschiedenis van Nederlandsch Indie (KIL II Jost Van Vondel, Amsterdam, 1938), ada lukisan yang menggambarkan kegiatan pasar pada pagi hari dengan los- los pasar di luar kota Banten. Berbagai suku bangsa yang berbelanja di sini, antara lain bangsa Portugis, Arab, Cina, Turki, Birma, Belgia, Benggala, Gujarat dan lain- lain.
- Mengamati Seni Bangunan Rumah dari Hasil Karya Seni Lukis, Pahat, Foto dan Karya Sastera
Mengenal kembali suatu hasil seni bangunan rumah dari masa silam yang umumnya sudah rusak merupakan hal yang menarik. Menarik karena materialnya yang lapuk dimakan zaman, diubah bentuknya atau dirombak karena tidak sesuai lagi dengan selera zaman, kecuali dari bangunan aslinya atau reruntuhan yang ada, dapat pula melalui benda- benda lain.
Melalui karya seni lukis foto gravir, relief dan karya sastera, kini orang dapat mengetahui hasil seni bangunan rumah dan perabotan milik bangsa Belanda dan anak keturunannya di Indonesia. Karya tulis dengan tambahan tulisan itu memperjelas berita tentang kehidupan dan gaya hidupmasyarakat pada zamannya. Dalam seni lukis abad ke-17 sampai abad ke-19, sedikit sekali kemungkinan para pelukis memalsukan objek yang dilukis. Pendapat ini didasarkan atas beberapa alasan.
Pertama, para pelukis naturalis yang hidup ada abad ke-17 sampai abad ke-19 adalah pengikut yang terpengaruh oleh gaya periode Renaisans dan Barok. Pada masa itu “naturalisme” dan “akademisme” hidup dengan subur di kalangan seniman lukis Eropa. Sehingga dengan demikian, hasil karya lukis dari zaman itu bernilai setara dengan hasil pemotretan dengan foto kamera pada abad ke-20.
Kedua, beberapa penulis dan pelukis lazim menggambar bangunan rumah serta pemandangan alam sekitarnya, misalnya rumah milik Groeneveld di Tanjung Timur (dilukiskan keindahannya oleh penulis Johannes Oliver dan Roorda van Eysinga). Terdapat lukisan rumah milik Reiner de Klerek di Molenvliet (sekarang Jalan Gajah Mada Jakarta) karya Willebrands, yang menggambarkan rumah ini dari arah belakang.
Ketiga, terdapat adanya suatu kebiasaan para pembesar zaman VOC dan Hindia Belanda, terutama para gubernur jenderal di Batavia dan para bangsawan kaya, meminta seniman melukis rumah tempat tinggal dan keluarga mereka sebagai kebanggaan atau kenang- kenangan keluarga.
Salah satu pelukis Belanda yang paling banyak melukis seni bangunan gaya Indis, salah satunya ialah J. Rach. Rach banyak melukis bangunan kota dan benteng serta rumah orang- orang terkemuka di Batavia dan kota- kota pantai di Jawa. Rumah- rumah pembesar yang dilukiskan antara lain rumah Willem Arnold Alting di Gunungsari (waktu itu menjabat sebagai direktur jenderal 1771-1780) dan rumah Gubernur Jenderal Petrus Albertus van der Parra di Weltervreden.
Lukisan rumah Reinier de Klerck karya Rach, khususnya yang dilukis berwarna, menunjukkan bahwa di halaman depan rumah terdapat taman dengan bunga- bunga yang indah. Pada sisi bawah lukisan ini tertulis “John’s Rach pinxit 1764”. Yang menarik sebagai hiasan bingkai lukisan adalah gambar lambang keluarga berupa perisai dan senjata Dewa Neptunus, yaitu berupa tombak bergigi tiga serta tongkat dari Mercurius.
Ada beberapa hasil lukisan berupa bangunan pesanggrahan karya pelukis- pelukis Belanda terkemuka lainnya, antara lain Andreas atau Andries Beeckman. Ia adalah seorang pelukis yang banyak melukis objek-objek di Zoetphen Belanda pada 1651, yang disebut juga schilder tot Deventer.
Pelukis terbagus dari abad ke-17 yaitu Jacob Jansen Coeman kelahiran Amsterdam, ia datang ke Indonesia pada 1663. Ia kawin tahun 1670 dengan Cornelia van Rijn, putri pelukis Rembrandt van Rijn dan Hendrickje Stoffles.
Pieter van den Boeche melukis Batavia in Vogelvlucht. Ia datang ke Batavia 19 Juni 1692 waktu kota dan benteng dikepung oleh 10.000 tentara Mataram. Andrian Mindem merupakan seorang pengikut mazhab Leiden (Leidsche Schilder School) yang juga terkenal melukis dan mengabadikan tokoh- tokoh Batavia, yaitu para gubernur jenderal dan keluarganya.
Sumber- sumber berita tentang seni bangunan dari hasil karya pelukis Indonesia sebelum Perang Dunia I antara lain karya Raden Saleh yang melukis Istana Bogor dan rumah Residen Kedu, di Magelang. Pada 1908 pernah diadakan pameran hasil- hasil lukisan untuk orang- orang yang tinggal di Hindia Belanda yang diadakan di Batavia oleh Delettanten Tentoonstelling.
- Pola Pemukiman Masyarakat Indis di Kota, Provinsi dan Kabupaten di Jawa
Pengertian kota dan macam-macam jenis kota sudah ditulis oleh beberapa sarjana. Yang menarik ialah karya tulis Peter J.M. Nas yang membahas tentang kota yang di bedakannya dalam empat macam, yaitu; (1) kota awal Indonesia; (2) kota Indis; (3) kota Kolonial; dan (4) kota modern. Kota awal Indonesia disebut memiliki struktur yang jelas mencerminkan tatanan kosmologis dengan pola- pola sosial- budaya yang dibedakan dalam dua tipe, yaitu; (a) kota- kota pedalaman dengan ciri- ciri tradisional- religius, dan (b) kota- kota pantai yang berdasarkan pada kegiatan perdagangan, misalnya kota Indis Semarang.
Budaya Indis yang berkembang subur pada abad ke-18 sampai abad ke-19, dan berpusat di wilayah- wilayah tanah partikelir (particuliere-landerijen) dan di lingkungan Indische Landhuizen. Pada permulaan abad ke-20 kebudayaan ini digeser ke arah urban life seiring dengan hilangna pusat-pusat kehiduan tersebut.
Ketika Landhuizen banyak dijual kepada orang-orang Cina dan tanah partikelir (particuliere-landerijen) banyak lahan berubah menjadi perkebunan- perkebunan di sekitar Batavia. Dan ketika pemilikan budak tidak lagi dibenarkan oleh hukum, ciri Indis berkembang memancar dalam kehidupan kota sebagai bagian dari urban culture kota kolonial.
Ada tiga ciri yang harus diperhatikan untuk dapat memahami struktur ruang lingkup sosial kota kolonial, yaitu budaya, teknologi dan struktur kekuasaan kolonial. Kota- kota besar seperti Batavia, Semarang, Surabaya dan Bandung harus ditelaah dari keterkaitan erat ketiga dimensi tersebut. Kota- kota di Jawa sampai dengan abad ke-18 tidak mengalami perkembangan yang berarti.
Seiring berjalannya waktu, terdapat berbagai pengaruh budaya asing, termasuk bahan material yang digunakan. Di berbagai daerah di Jawa masih banyak ditemukan bentuk gaya asli, bahan terdapat suatu kesatuan dalam gaya bangunan, seerti contoh berikut ini.
(1) Yang paling sederhana adalah bangunan cungkup kuburan Jawa, yang
selalu terletak di tempat terpencil (kiwa)
(2) Tradisi bangunan rumah tempat tinggal Jawa, termasuk yang berada di dalam kota, mencoba menyesuaikan dengan alam sekeliling sebagai latarbelakang.
(3) Mereka tahu dan mengerti tentang adanya temat- tempat keramat atau yang sangat ideal bagi hidup mereka di desa, seperti pancuran- pancuran air dan sumber mata air.
(4) Gambaran monumental sesuai dengan gambaran ide keindahan sebuah lingkungan kota lama di Jawa dapat diamati di kota Yogyakarta.
Sejak zaman kuno, pusat kegiatan ekonomi di Pulau Jawa adalah pasar, yang sekaligu berfungsi sebagai pusat transaksi antarwilayah sekitarnya. Kompleks pasar antarwilayah terdiri dari beberapa ruangan terbuka memanjang (disebut bango atau los). Di luar kompleks pasar terdapat pertokoan yang lebih dikenal sebagai sebutan pecinan sekaligus merupakan tempat bermukim masyarakat golongan Cina.
Di samping kelompok permukiman Cina terdapat kompleks kelompok permukiman orang Timur asing lainnya, seperti orang Arab atau Keling. Mereka tinggal tidak jauh dari pasar karena pada umumnya mereka juga mempunyai kegiatan berdagang seperti menjual batu aji dan kain atau wuker (pinjam- meminjam uang berbunga).
Di Pasuruan, orang-orang Cina tinggal di Pecinan, sementara Pribumi tinggal di kampung-kampung yang berpenduduk padat. Permukiman dan tempat tinggal penduduk di Kepulauan Hindia Belanda terbagi sesuai dengan golongan dan kebangsaanya. Ada empat golongan kebangsaan, yaitu :
1. Anak negeri atau bangsa Pribumi
2. Orang yang disamakan dengan anak negeri ( sesuai dengan Sjart Pemerintah Hindia Belanda pasal 109 )
3. Orang Eropa
4. Orang yang disamakan dengan bangsa Eropa ( gelijk gesteld ).
- Upaya Mencukupi Kebutuhan Perumahan Kota
Perkembangan dan perluasan kota- kota besar di Jawa dan diberbagai tempat menimbulkan kekurangan rumah tempat tinggal bagi penduduk kota. Hal demikian tidak dapat dibiyarkan begitu saja oleh pemerintah. Berbagai upaya masyarakat pun dilakukan untuk mengatasi kesulitan tersebut. Pada beberapa kota didirikan pengusahaan tanah oleh pemerintah kotapraja (Gemeentelliijke Grondbedrijf).
Pada 1930 Perkarangan dan ukuran rumah dibuat sesuai dengan keperluan, dan dengan pertimbangan, antara lain ( a ) makin mahalnya harga tanah dan material, ( b ) orang mulai menyukai hal-hal yang praktis dan memenuhi segala keperluan dan selera, golongan masyarakat Indis meniru gaya hidup seperti cara hidup panutan masyarakat Indis, yaitu orang Eropa, (c) susunan keluarga inti dianggap lebih penting sehingga mempersempit keluargaa diluar keluarga inti untuk ngenger, ngindung, magersari dsb, dan (d) karena kelarga Indis kebanyakan adalah pegawai pemerintah yang kemungkinan besar sering dipindah kelain kota, atau karena promosi jabatan dan terbukanya kenaikan karir. Akibatnya, orang lebih suka membuat rumah sesuai dengan kebutuhan.
- Penggunaan Unsur Seni Tradisional dalam Rumah Gaya Indis
Upaya untuk mewujudkan penggunaan unsur-unsur seni bangunan tradisional (khususnya Jawa) telah dilontarkan oleh seorang penulis dengan nama samaran Reflector di dalam Indisch Bouwkundig Tijdschrift (Agustus, 1907: 143). Reflector mengutip dari harian De Locomotif, terbitan 30 Juli 1907. Ia menyebutkan, Ch. Meyll bertutur bahwa pada arsitek Inggris di India berhasil dalam ciptaan- ciptaannya dengan mendapat ilham dan mencontoh arsitektur tradisional Pribumi India yang ada di sekeliling mereka, yang mereka lihat setia hari. Pada 1890, Kolonel Genie dan S.S. Jacob C.I.E; dengan bantuan Maharaja Jaipur, menerbitkan gambar- gambar karya seni dan ilmu bangunan sebanyak 374 lembar yang sangat berharga, berjudul Indian Architectural Details.
Dengan memperhatikan tulisan Reflector dalam Inidisch Bouwundik Tijdschrist (1607) ini, tampak kecenderungan adanya kelompok pakar ahli bangunan di Hindia Belanda yang menginginkan penggunaan unsur budaya tradisional Jawa dalam penciptaan seni bangunan.
Bab V
Ragam Hias Rumah Tinggal
Arsitektur rumah tinggal merupakan suatu bentuk kebudayaan. Arsitektur sendiri dianggap sebagai perpaduan antara karya seni dan pengetahuan tentang bangunan. Dengan demikian arsitektur membicarakan berbagai aspek tentang keindahan dan konstruksi bangunan. Marcus Vitruvius Pollio adalah orang yang pertama kali mencetuskan konsep ini, yaitu pada abad pertama sebelum masehi, ia peroleh pengetahuan dari nenek moyangnya yaitu bangsa Romawi. Karyanya berjudul De Architectura Libri Dacem diduga telah mengilhami banyak orang. Gerakan Renaisans, yang lahir pada awal abad ke -15, menggugah banyak orang untuk meneliti dan mempelajari teori-teori arsitektur dan kebudayaan Yunani-Romawi kuno. Beruntunglah bahwa kemudian Pagio Braccioli menemuka manuskrip asli Vitruvius tersebut di Perpustakaan Saint Gall Monestry pada 1414, kemudian manuskrip tersebut diserahkan kepada Leone Batista Alberti, seorang ahli sastra dan budaya klasik yunani. Alberti kemudian menulis kitab dengan judul De Re Aediri Catoria yang terbit pada 1485 sebagai karya Posthumous di Florence. Kitab dan pengetahuan ini kemudian diteruskan oleh Giocomo Barozi dan Vignola ( 1564 ) hingga akhirnya buku itu dipakai sebagai pedoman arsitektur selama beberapa abad. Lalu, isi dari buku-buku ini dikembangkan dan menjadi sangat terkenal oleh Andrea Palladio pada abad ke-16, kitab B.
Menurut Marcus Vitrusvius Pallio, tiga unsur yang merupakan faktor dasar dalam arsitektur yaitu : (a) kenyamanan ( convenience ); (b) kekuatan atau kekukuhan ( strength ); dan keindahan ( beauty ). Ketiga faktor tersebut saling berhubungan dan selalu hadir dalam struktur bangunan yang serasi dan merupakn dasar penciptaan arsitektur yang memiliki estetika maka dari itu seorang arsitektur yang arif tidak akan melupakan ketiga faktor tersebut. Sebuah bangunan selayaknya dapat dinilai dari segi keindahan, kenyamanan, serta keselamatan bagi penghuninya. Layaknya seniman pemahat patung, seorang arsitek juga menciptakan karya tiga dimensi dan salah satu elemen dalam dunia arsitektur adalah ornamen atau ragam hias. Sebagian orang berpendapat bahwa yang paling penting dari suatu bangunan adalah kenyamanan, sedangkan karya seni tidak harus berhubungan dengan fungsi dan kepentingan kehidupan sehari-hari melainkan mementingkan aspek keindahan, misalnya yang dapat dilihat pada karya patung, sastra, atau musik. Dengan demikian pandangan ini menyiratkan bahwa seni bangunan tidak termasuk dalam karya seni secara umum.
Pada saat zaman dulu ( purba ), orang melukiskan sesuatu secara naturalistik karena segala sesuatu dihubungkan dengan kepercayaan, mereka mengartikan ragam hias secara simbolik dan akhirnya saat zaman telah berubah, ragam hias ini tidak lagi dimengerti dan saat ini ragam hias semacam itu ditiadakan.
Bart Van der Leck didalam tulisannya bejudul The Place of Modern Painting in Artchitecture, berpendapat bahwa pada suatu waktu, seni lukis terpisah dengan sendirinya dari arsitektur dan berkembang dengan bebas. Hal ini terjadi karena berkat adanya eksperimen atau percobaan-percobaan yang akan meniadakan sesuatu yang tidak alami dan menjauhkan diri dari ide-ide lama, walaupun hal semacam ini membutuhkan adanya perencanaan dan penuangan berbagai keinginan, yang akhirnya selalu menghendaki adanya kemudahan sebagai rencana yang praktis, yang dapat dicipta oleh arsitek. Berikut ini penjelasan lima indikasi seni bangunan dan seni lukis. Pertama, seni lukis modern adalah karya seni yang meninggalkan naturalisme yang terdapat pada seni plastis ( pahat patung ), seni ini bertolak belkang dengan bentuk plastis yang terdapat pada arsitektur yang naturalis. Kedua, seni lukis modern bersifat bebas, terbuka, dan berlawanan dengan seni arsitektur,sebab arsitektur cenderung terikat oleh bentuk kebutuhan alami dan lingkunang alam sekelilingnya. Ketiga, seni lukis modern penuh dengan warna-warna dan bidang yang bertolak belakang dengan arsitektur yang tidak banyak menggunakan warna-warni seperti karya lukis. Keempat, seni lukis modern meliputi proses penciptaan bentuk plastis pada bidang datar, yang menghasilkan sesuatu yang kontras dengan permukaan bidang dataryang terbatas pada bangunan. Kelima, seni lukis modern memberi bentuk plastis pada bidang datar dengan pertimbangan yang tepat dan imbang ( contrasted with balanced support and weight ).
Ø Bentuk atap dan hiasan kemuncak
Pembuatan bangunan rumah Jawa tradisional dan hiasannya dari masa awal abad ke-20, terdapat suatu keganjilan apabila dibandingkan dengan bagaimana masyarakat yang tinggal di pulau sekitarnya, yaitu Bali dan Sumatera terutama dalam hal mendirikan rumah. Ada kesan yang mendalam bahwa dalam mendirikan rumah dan ragam hiasannya, ornag Jawa kian jarang menghias bangunan rumahnya apabila dibandingkan dengan orang sumatera. Orang Sumatera membangun rumah dari bahan kayu dan orang Bali membangun rumahnya dari bahan tanah liat yang dijemur atau dengan batu bata. Hal ini menjadi lebih jelas apabila dikaitkan dengan kenyataan bahwa di Pulau Jawa terdapat bangunan-bangunan kuno ( purbakala ) dari batu andesit yang megah, seperti Candi Borobudur, Prambanan dan sebagainya yang juga mempunyai relief yang sangat kaya. Jelaslah bahwa di Jawa terdapat suatu kemunduran dalam membangun dan menghias rumah tinggal. Memang, ada juga beberapa peninggalan berupa bangunan rumah tinggal yang bagus seperti di Surakarta, Yogyakarta, Cirebon, Kudus, Jepara yang seluruhnya terbuat dari kayu jati dengan bagian-bagiannya yang dipahat sangat bagus. Di Banten, menurut kesaksian orang-orang Belanda yang datang pada 1538, disebutkan bahwa dari peninggalan rumah kuno di Kotagede ( Pasar Gede ), Yogyakarta dan Laweyan di Solo, orang mendapatkan rumah dari batu bata yang dibuat kasar dan jelek dengan lorong-lorong sempit sehingga orang berjalan diantara dinding-dindingrumah dari tembok. Demikian juga halnya di Kedu dan Temanggung, rumah-rumah semuanya terbuat dari bongkahan batu atau bata dengan perekat yang dikeringkan oleh matahari ( semacam bangunan rumah di Bali ).
Di Jawa Barat keadaanya lebuih bagus, rumah-rumah dibangun dengan batang-batang tiang kayu yang berdiri atas batu alam atau batubara, lantainya ada yang dibuat diatas tiang kayu dengan lantai papan-papan kayu, sedangkan atapnya dari ijuk dan dindingnya dari bambu. Namun, rumah di Jawa Barat ini masih patut disebut rumah, sementara di Jawa Timur dan Jawa Tengah bangunan rumah rakyat jauh lebih sederhana. Hanya di pusat-pusat pemerintahan atau tempat keramaianlah terdapat rumah batu. Perbedaan yang mencolok ini dapa disebabkan oleh keberuntungan atau kesejahteraan hidup orang Cina atau Arab dan dapat juga disebabkan oleh penjajahan dan pengisapan habis-habisan oleh penjajah. Yang jelas, rumah orang Arab atau Cina lebih terpelihara dan dengan perabotan yang baik sebagai kelengkapannya serta terdapat ruang-ruang pribadi ( eigondommen ). Rouffaer berpendapat, bahwa untuk wilayah Jawa Tengah, kayu jatilah yang terbaik karena material kayu ( khususnya kayu jati ) adalah yang terbagus dan banyak terdapat di Jawa Tengah, disamping itu kayu sangat cocok dan sangat baik untuk daerah tropis, serta sangat baik untuk mengantisipasi gempa bumi. Rouffaer juga mengatakan bangunan dengan perekat ( leembouw ) yang terdapat di Jawa dan Bali diajarkan oleh orang Hindu, sebenarnya bangunan seperti itu lebih tepat untuk daerah beriklim kering.
Pada abad ke-19 tidak hanya bidang seni yang menonjol dalam bidang arsitekur, ilmu teknik juga sangat berperan. Masa itu juga dianggap sebagai masa menuju “periode peralihan”, yaitu sebagai gaya tiruan atau gaya imitasi, yang sampai dengan akhir abad ke-19 belum juga berakhir.
Ø Hiasan Kemuncak Tadhah Angin dan Sisi Depan Rumah
Di Indonesia, khususnya Jawa, hiasan di bagian atap rumah kurang mendapat perhatian, kecuali pada bangunan-bangunan peribadatan ( masjid, gereja, pura, dan candi ). Pada bangunan rumah Eropa, hiasan kemuncak mendapat perhatian dan mempunyai arti tersendiri, baik dari sudut keindahan, status sosial maupun kepercayaan. Banyak penduduk di Demak, Jawa Tengah, pada hubungan atapnya terdapat hiasan berupa deretan lempeng teracotta yang diwujudkan seperti gambar tokoh-tokoh wayang, berderet-deret ( Jawa: disimping atau hanya melukiskan tumbuh-tumbuhan) dengan gambar gunungan tepat di tengah-tengah, masing-masing lempengan teracotta tersebut dihiasi dengan mozaik pecahan cermin, sehingga disiang hari dapat memantulkan sinar yang gemerlap sehingga hiasan atap rumah-rumah di Kota Demak jelas memiliki arti simbolik. Rumah-rumah Minangkabau berkemuncak seperti tanduk kerbau di samping hiasan pahatan pada bagian-bagian dindingnya seperti halnya rumah Batak Karo sementara itu rumah Sa’ dan Toraja di Sulawesi penuh dengan pahatan pada serambi depan dengan perwujudan kepala kerbau sebagai hiasan utama, karena kerbau merupakan binatang keramat pada masa sudah mengenal kerbau sebagai binatang ternak, serta memujanya sebagai binatang keramat yang mengartikan lambang kesuburan tanah dan juga sebagai pengusir roh jahat.
Kehadiran bangsa-bangsa Eropa di Indonesia sejak awal abad ke-16 mempengaruhi berbagai unsur kebudayaan, di antaranya juga dalam hal hiasan kemuncak bangunan rumah. Dulu di Belanda banyak rumah-rumah penduduk pada atapnya diletakkan wind wijzer ( penunjuk arah angin ) yang juga berfungsi sebagai hiasan rumah. Washington Irving menulis tentang Nieuw Amsterdam di dalam A History of New Netherland menyebutkan bahwa pada setiap rumah di sini ada weerham yang seringkali pada tiap rumah menunjukkan ke arah yang berbeda. Pada abad pertengahan tidak semua orang dapat dengan sekehendak hati membuat windvaan karena ada ketentuan-ketentuan tertentu oleh penguasa, baik tentang bentuk maupun perwujudannya. Pada abad ke-15, bangsawan-bangsawan tinggi menggunakan windvaan sebagai hiasan mahkota ( kroon ). Windvaan umumnya terbuat dari logam dengan warna-warna menyala yang dapat terlihat dari kejauhan, tetapi ada pula yang menaruh hiasan berwarna keperakan dan pada sisi sudut persegi empat diisi dengan hiasan rozet namun lebih lazimnya diisi dengan lambang keluarga pemiliknya. Di Eropa sekarang, khususnya di negri Belanda, hiasan kemuncak yang berupa penunjuk arah angin dengan bermacam-macam bentuknya seringkali menunjukkan macam usaha atau pekerjaan pemiliknya, misalnya bentuk jantera alat pintal ( roda alat tenun ) terdapat di Kota Leren, gambar bajak ( alat untuk membajak tanah ) pada kemuncak gudang gandum di dekat Groningen, alat pencukur diatas rumah tukang cukur ( di Maastricth), sebuah sepatu besar diatas toko sepatu di Utrechtse Straat 48, Amsterdam, dan para pelaut sering menggunakan penunjuk arah angin dengan lukisan perahu penangkap ikan dan perahu Viking ( di Rotterdam ). Lukisan pada kemuncak rumah-rumah penduduk tersebut sudah barang tentu merupakan usaha pemiliknya untuk memperindah bangunan.
Di Rusia, dulu ayam jantan digunakan sebagai lambang, konon berfungsi sebagai binatang korban untuk pendirian sebuah bangunan, ayam jantan tersebut ditanam dalam lantai dibawah pintu masuk atau pintu darurat yang berfungsi sebagai pelindung. Hal itu dilakukan dengan maksud agar mereka mendapat perlindungan dari dewa-dewa dari segala gangguan dan marabahaya. Di dalam prasasti Jawa Kuno sering terbaca kalimat “aneteh ayam,mabantingaken hantiga” dalam rangka upacara pendirian sebuah bangunan candi di Jawa. Sampai sekarang masih banyak dipersoalkan mengapa lukisan ayam jantan justru banyak digunakan untuk menghias kemuncak menara-menara gereja. Hiasan kemuncak dengan bagian sisi depan rumah gaya Indis di Jawa tidak terlalu banyak digunakan, baik pada bangunan di kota maupun rumah di pegunungan dan pedesaan. Hal ini berbeda dengan bangunan di Negeri Belanda, yang satu sama lain berlomba untuk jadi unggul dalam hal berlomba menghias mahkota bangunan rumah.
Umumnya rumah gaya Indis beragam hias sederhana, kecuali rumah orang Cina kaya. Seperti rumah-rumah di Eropa, bangunan rumah di Negeri Belanda bagian depan (topgevels) dan kemuncak depan (geveltoppen) mempunyai variasi hiasan yang bermacam-macam. Saat ini umummnya bangunan rumah di Belanda terbuat dari batu, tetapi sampai dengan pertengahan abad ke-15 sebelumnya umumnya rumah terbuat dari kayu tetapi karena sering terjadi kebakaran maka rumah dibuat dari batu. Di Jawa, bentuk semacam ini menjadi ciri umum bangunan gaya Indis awal abad ke-19, gaya bangunan ini banyak diubah dengan menggunakan gaya yang lebih modern dari Eropa yang mutakhir, yaitu bangunan yang tertutup. Bentuk tertutup pada bangunan gaya Indis yang mulai banyak digunakan pada akhir abad ke-20, diduga karena derasnya arus kehadiran orang Eropa untuk menangani perusahaan-perusahaan perkebunan, pelayaran, bank dan sebagainya.
Akhir-akhir ini orang menggunakan sesuatu lambing dari masa kuno yang tetap menarik perhatian dengan tambahan lukisan palang salib, jangkar, dan hati yang disertakan mendampingi lambing-lambang masa kuno ( kafir ). Lambing tolak bala ( afwertaken ) kuno yang lain adalah yang disebut dondere atau heksenbezem, yaitu sebuah hiasan untuk dinding rumah atau tadhah angin juga, yang cara pembuatannya adalah dengan menempelkan batu bata merah pada permukaan dinding yang tidak dilepa. Bagi bangunan rumah gaya Indis di Indonesia, lambing tersebut sudah kehilangan makna sebagai hiasan yang mengandung arti simbolik, tetapi berfungsi hanya sebagai hiasan belaka.
1. Macam-macam hiasan kemuncak dan atap rumah
a. Penunjuk arah tiupan angin ( windwijzer ) disebut juga windvaan, dalam bahasa Prancis disebut girovettes dan apabila dapat berputar-putar disebut wire-wire
b. Hiasan puncak atap ( Nok Acrotorie ) dan cerobong asap semu, hiasan ini terbuat dari daun alang-alang (stroo) sebagai prtotipe, kemudian dalam rumah gaya Indis dibentuk dengan bahan dari semen.
c. Hiasan kemuncak tampak-depan ( Geveltoppen), bentuk segitiga pada depan rumah disebut voorschot itu dihias dengan papan kayu yang dipasang vertical, berhiasan, yang digunakan sampai dengan abad ke-19
d. Ragam hias pasir dari material logam, selain ragam hias pada puncak atau di tadhah angin ( tympanon ) bangunan rumah, ada ragam hias lain yang melengkapi bangunan rumah dari bahan besi, misalnya untuk pagar serambi, kerbil yaitu penyangga atap emper pada bagian depan dan belakang rumah.
2. Ragam Hias pada Tubuh Bangunan (Topgevel)
Selain terdapat di kemuncak (Topgevel) dan Tadhah angin (Timpanon) ragam hias terdapat di bagian tubuh bangunan, hiasan yang berupa ukir Krawangan (a’jour relief ini lazimnya terbuat dari kayu, tetapi pada rumah- rumah mewah yang dihuni pembesar pemerintah kadang terbuat dari logam besi. Ornamen ini mengingatkan kita kepada hiasan bangunan candi di Jawa yang berupa sulur- sulur tumbuhan yang berpangkal pada umbi (bonggol) atau pada jambangan bunga.
Pada bangunan besar seperti istana gubernur Jenderal atau keratin raja- raja Jawa Yogyakarta dan Solo, batang tiang bagian dalamnya (pagelaran, serambi depan dan belakang) dihias dengan gaya Ionia dan Korinthia. Tiang Doria, Ionia, Korinthia banyak digunakan dalam bangunan rumah dewa (kuil) masa Yunani dan Romawi kuno (abad ke-4 SM), kemudian digunakan juga di dalam bangunan- bangunan dari masa Renaisans abad ke-15 di Eropa.
0 komentar:
Posting Komentar